Aku dan dia sudah berteman sejak kami SMP. Berawal dari
sapaan biasa, obrolan singkat jam istirahat. entah sejak kapan dia menjadi bagian penting untukku,"Dion dan Maura sahabat selamanya"
Masih sama seperti dulu. dia tetap menjadi Maura yang ku
kenal; cantik, baik, ramah, perempuan aktif yang selalu dikelilingi banyak
teman, juga periang seolah tubuhnya tidak pernah merasa lelah. sangat jauh
berbeda dari aku, Dion yang selalu
sendiri. tubuhku tak memungkinkan untuk aku beraktivitas seperti anak
seusia ku kebanyakan, aku harus terus bertahan melawan banyak virus dalam
tubuhku. satu-satunya yang mau berteman denganku hanyalah Maura, meski tak
pernah aku mengerti kenapa dia masih tetap mau berteman denganku walau kini
kami masuk SMA yang berbeda.
Hingga beberapa bulan setelah kami masuk SMA, aku melihat
Maura menangis, entah untuk yang keberapa kali dia patah hati. Tapi kali ini
aku merasa ada hal yang berbeda . Maura menangis begitu lepas, setiap tetes air
matanya tampak begitu tulus, tubuh mungilnya terduduk memeluk lutut. Dia
menangis seolah dia seorang diri tanpa aku. wajahnya pucat seperti bukan dia
biasanya. Aku menatapnya lirih, ikut merasa sedih, bahkan marah pada orang yang
tega membuatnya terluka.
Sama seperti dugaanku sebelumnya, hanya butuh waktu 1 minggu
dia sudah seperti biasa. seolah tak terjadi apa-apa. aku berusaha menghibur
dengan memainkan lagu favoritnya dengan gitarku, lalu dia akan bernyanyi dan
tersenyum. tapi justru dialah yang sebenarnya menghiburku. Ketika kami hendak
pulang, dia tertegun menatap sekumpulan gadis seusia kami yang sedang bersepeda
sore hari. tentu saja aku bingung melihatnya, lalu dia berkata bahwa dia tidak
bisa naik sepeda dan ingin sekali bersepeda. aku memintanya menunggu sebentar
dan aku segera berlari kerumah mengambil sepeda untuk memboncengnya
berkeliling. senang bisa membuat dia tersenyum, tak kurasakan lagi dadaku yang sedaritadi mulai
sesak.
Beberapa hari setelah bersepeda sore itu, aku tidak bertemu
Maura. dia tidak mengangkat telpon dan bahkan tak membalas pesan dariku.
mungkin dia sedang sibuk dengan teman-temannya. Siang ini sepulang sekolah aku
hanya ingin tidur. hingga aku mendengar berulang-ulang namaku dipanggil. aku
keluar rumah. terkejut melihat banyak teman yang membawa kue ulang tahun.
berkat Maura ulang tahun ku terasa lebih bahagia tahun ini.
Sudah lama aku tak merasa sakit , aku mengira bahwa aku
hampir sembuh tapi ternyata salah. dokter memvonis penyakitku sudah semakin
parah. aku harus dirawat dikamar rumah sakit yang biasa aku tempati. seperti
sebelumnya, hanya ada keluarga dan Maura yang ada disisi ranjang kamar ini.
tapi itu sudah lebih dari cukup untukku, meski tak pernah ada teman yang datang menjenguk. lagipula aku benci pada mereka yang selalu menatapku kasihan.
seolah aku adalah anak paling menderita. hanya Maura yang memandangku dengan
tatapan mengerti, seperti dia merasakan hal yang sama denganku. Dia selalu
bilang, "biar bagaimanapun dokter hanya memvonis, takdir cuma tuhan yang
tau, jadi Dion gak boleh patah semangat" setiap kali mendengarnya hatiku
menjadi lebih tenang, aku lebih semangat untuk terus hidup, demi tetap bisa
melihat sinar mata dan senyumnya yang indah.
Pada suatu sore aku melihat Maura diganggu oleh kakak-kakak
berandal setidaknya begitulah panggilanku untuk kakak kelas yang selalu
mengganggu adik kelasnya dan bertindak semena-mena. aku langsung meninju salah
satu dari mereka walau aku tau aku tidak akan bisa melawan mereka dengan
tubuhku yang seperti ini, tapi saat itu aku hanya ingin melindungi Maura.
Mereka marah dan membantingku ke tanah lalu memukuliku. Saat itu terdengar isak
tangis Maura semakin kencang. dia berteriak minta tolong, menariki baju-baju
kaka kelas itu lalu menangis lagi. Entahlah yang jelas dia berusaha
membantuku.hingga kami ditolong oleh sekelompok mahasiswa dan tiba-tiba
kepalaku terbentur benda keras, darah mulai mengalir lalu semuanya redup.
Tak beberapa lama aku sadarkan diri, tapi semuanya tetap
gelap. aku tidak dapat melihat apapun, mamah yang terus mengenggam erat tangan
ku dan banyak dokter yang mulai memeriksa membuat aku tau bahwa kini aku berada
di Rumah Sakit." ya tuhan kenapa lagi".
Ternyata penyakitku sudah semakin parah, aku harus rela
kehilangan kedua mataku. semua terasa gelap, kosong dan hampa. aku benci pada
diriku sendiri yang kini tak berguna. Selama beberapa minggu aku menjadi lebih
pemarah, tidak ingin ditemui siapapun. aku tidak lagi ingin hidup. Setelah 2 bulan
dokter memberi kabar baik, bahwa ada seseorang yang mendonorkan matanya
untukku.aku sangat senang dan ingin cepat melakukan operasi. Setelah operasi
usai aku diperkenankan membuka mataku perlahan. kulihat samar kedua orang
tuaku yang menatapku lega lalu dokter yang tersenyum, semua terlihat lebih
indah dengan ,mata baru ini. siapapun pemiliknya. Terimakasih..
aku bersyukur telah melewati saat-saat menyedihkan, aku
baru ingat sudah lama tidak mendengar
suara maura lagi. bagaimana keadaannya pun aku tidak tau. atau mungkin dia
merasa bersalah karena membuatku masuk rumah sakit sehingga tidak berani
menemuiku. padahal jelas itu bukan salahnya. tanpa kupinta mama dan papa
mengantarku kerumah Maura, tidak biasanya kakaku juga ikut kesana. Mungkin
mereka bisa membaca pikiranku, aku memang sangat ingin bertemu Maura. rumah
maura tampak ramai, sepertinya sedang banyak kedatangan tamu. mereka semua
memakai baju hitam yang tidak aku kenali siapa mereka. diatas pagarnya ada
banyak bendera kuning, di halamannya tersebar banyak bunga mawar kesukaan
Maura. aku sontak berlari kedalam tanpa menghiraukan panggilan mama. ketika aku
masuk semua orang langsung menatapku dengan pandangan yang tidak biasa, lalu
satu persatu orang menjauh. sehingga bisa aku lihat Maura yang sedang tertidur
kaku, matanya terpejam tak mau melihat isakan tangis orang-orang yang berada
didekatnya, wajahnya lebih pucat. seketika aku disadarkan bahwa Maura telah
pergi dan tak akan pernah kembali. Perasaan hancur mulai menjalar keseluruh
tubuhku bahkan lebih sakit dari kenyataan sewaktu aku buta. air mata mengalir
dengan sendirinya terus membasahi pipiku. saat itu waktu seakan berhenti
bersamaan dengan nafasku. di tambah baru ku tau bahwa selama ini Maura sakit
dengan vonis bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. di saat kritisnya dia
berjuang sendiri melawan penyakitnya tanpa ada aku disampingnya, bahkan dia
slalu mengkhawatirkan aku dan dia pun rela memberikan mata indahnya untukku,
"Maura puteri malaikat, terimakasih" aku memeluk dan mengguncang
pelan tubuhnya berharap dia membalas ucapanku....
Beberapa tahun setelah kepergian Maura, kini aku berdiri
dengan jas putihku dan membawa sebuket bunga mawar putih, "Maura sayang,
sekarang aku udah jadi dokter seperti impian kamu jadi malaikat penyembuh untuk
semua orang, dokter yang baik sama siapapun pasiennya, kamu malaikat penyembuh
untuk hidup aku tanpa kamu harus jadi dokter. Maura, terimakasih" aku
meletakkan bunga itu dan perlahan pergi dari makam Maura.
@Mayangmaulidaa
4 komentar:
Bagus banget, ceritanya menarik, semangat yaa dan terus berkarya ;-) @RioPurcahyanto
Hehe makasih yo. Masih belajar:-)
Posting Komentar