RSS

Angin Kerinduan



Aku menikmati keindahan matahari terbit di negeri sakura, negeri yang kata banyak orang menjunjung disiplin tinggi, di mana penduduknya suka bekerja keras, dan dikenal pula dengan sebutan negeri matahari terbit.

Sepuluh tahun sudah aku menikmati indahnya negeri ini dengan perasaan penuh suka cita dan hati yang damai tiada duanya. Aku menempuh perguruan tinggi, sukses berkarir didunia kerja, dan beberapa bulan lagi akan dipersunting oleh laki-laki keturunan asli Jepang. Segalanya berjalan lancar tanpa hambatan, aku terbuai tapi tetap merindu.

Sampai detik ini keadaannya tidak berubah, hanya hatiku sedikit bergejolak usai kunjungan singkatku selama beberapa hari ke Indonesia. Aku kembali menginjakkan kaki ke tanah air setelah sepuluh tahun berlalu.

Malam itu, di pelataran hotel bintang lima yang berada di kawasan Jakarta. Aku bertemu lagi dengan dia yang selalu aku sebut namanya--dalam tiap hembusan angin. Masih seperti dulu, ia lebih suka menyendiri---bercerita dengan alam, ketimbang menikmati pesta semalam suntuk. Dia berdiri menatap langit malam yang kebetulan berwarna hitam pekat, dengan balutan jas warna senada dengan celana dan sepatu yang ia kenakan.

Aku mendekat---menatap punggungnya lebih dekat, punggung yang pernah menggendongku saat aku jadi juara lomba puisi nasional.

"Kapan kau datang?" Tanyanya dengan suara datar tanpa menoleh.
"Beberapa hari yang lalu," aku menjawab dengan suara yang terdengar sangat pelan atau mungkin pilu ditengah hembusan angin malam.

Untuk waktu yang lama kami hanya diam, menikmati malam. Rindu yang selama ini aku telan sendiri seolah lenyap seiring hembusan angin yang datang dan pergi. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, ingin aku ceritakan, sejak di pesawat tadi aku berusaha merangkai kata, tapi saat itu tiba aku hanya bisa diam seribu bahasa.

"Pulang untuk urusan bisnis?"
Dari intonasi suaranya aku tahu dia masih marah padaku.
"Aku pulang, karena memang ingin pulang," kataku berusaha menahan banyak kata yang ingin keluar dari mulutku.
"Kalau memang ingin pulang, kenapa baru setelah sepuluh tahun?"
Aku hanya diam, menggigit bibir.
"Kau bahagia di sana, bukan?"
Lagi, aku hanya diam, kali ini sambil menahan air mata yang hampir tumpah.
"Berapa lama kau di sini?" 
"Hanya tiga hari," kataku akhirnya.
"Kau seperti angin ini..." katanya sambil terkekeh, "Untuk apa datang kalau ingin pergi lagi?"
Air mata mulai bercucuran, tidak dapat lagi aku tahan meski sangat ingin aku menahannya.
"Jangan bersedih, berbahagialah untuk pernikahan sahabatmu. Oh ya, aku senang kau datang. Hmm tidak.. yang ingin aku katakan sebenarnya adalah kenapa kau baru datang? Tapi sekarang aku tahu, keputusanmu dulu untuk berpisah denganku adalah hal yang tepat dan kau bahagia...aku senang,".

Dia berbalik, matanya lurus menatap mataku. Hingga aku dapat melihat sorot mata elangnya yang tajam. Mata yang seingatku selalu bersinar dan menggebu-gebu tapi malam ini tampak teduh dan lebih tenang. Waktu telah mengubahnya menjadi seorang pria dewasa yang siap menghadapi dunia dan mampu berdiri tegak, terlihat kokoh juga rapuh.

"Hari ini, aku sudah berdamai dengan masa lalu...hal yang seharusnya aku lakukan sejak dulu. Tapi setidaknya aku tidak menyerah diawal, seperti yang kau lakukan," Matanya bergetar begitu mengatakannya, dari situ aku bisa melihat kilatan-kilatan amarah seiring matanya yang mulai memerah.

"Ah sudahlah, aku masuk dulu," katanya sambil berusaha memaksakan seulas senyum sebelum berbalik dan berjalan pergi.
"Pengantin pria memang seharusnya berada di dalam," aku bersuara lirih, aku yakin sekali suaraku terdengar sangat menyedihkan. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menariknya kepelukanku. Tidak, tidak boleh aku lakukan. Bahkan untuk menyentuhnya saja aku tidak berhak.

Begitulah akhir kisah cinta sepasang kekasih yang sedari kecil dirawat bersama di panti asuhan. Seperti semilir angin cinta itu hilang dalam sekejab, baru saja dihancurkan oleh yang membangunnya bertahun-tahun lalu dan meninggalkan jejak yang perih...perih sekali. 

Angin...dia lebih suka bicara padamu daripadaku, tolong sampaikan bahwa aku masih mencintainya, tapi kali ini dengan cara yang berbeda. Sosoknya yang masih berusia tujuh belas tahun mengenakan seragam putih abu terus hidup dalam pikiranku.

Bukan mudah menyerah, hanya saja...jika saat itu hubungan kami tidak berakhir---aku tidak akan jadi seperti ini, dan dia pun tidak akan jadi seperti sekarang. Kami akan jauh---jauh sekali dari mimpi. Kenangan-kenangan indah bersamanyalah yang membuat aku bertahan hidup di negeri orang dengan segala perbedaan, membawaku menuju dermaga kehidupan yang lebih cerah.

Aku masih gadis muda yang sama, yang berdiri di sampingnya berteriak-teriak mencari kebenaran. Pejuang tetap pejuang meski berada di negeri orang, sebisaku aku akan menjaga saudara-saudara kita yang ada di sana, akan aku perjuangkan untuk mereka.
Kebahagianku bukan karena hidup bergelimangan harta, tapi karena aku bisa merasakan betapa indahnya hidup ditengah sebuah keluarga. Suatu hal yang aku minta sejak kecil dan dimiliki banyak anak lain walau mereka tidak memintanya.

Tak jauh berbeda sayang, sama seperti dia yang akhirnya harus menikahi putri komisaris dari perusahaan tempatnya bekerja--yang telah menyekolahkannya hingga tamat perguruan tinggi. Akupun akan menikah jua dengan seorang putra kandung orangtua angkatku di Jepang, tak ada alasan untukku menolaknya. Sejak awal kau tahu memang tidak ada pilihan. Jangan pernah sekalipun mengingatkanku pada keadilan, tapi kali ini dengarkanlah suara hati yang memanggil lirih.

Di balik langit yang gelap ada jutaan bintang yang indah berkilauan bersinar terang, tapi takkan kuminta Tuhan untuk menjatuhkannya satu untukku. Begitupun, dibalik sikapmu yang dingin---aku yakin masih ada hati yang besar dan tulus untukku, tapi takkan kuminta Tuhan untuk menjatuhkannya lagi pada hati yang sama. Karena cinta tahu kemana ia harus pulang, tapi cinta tidak akan memaksa cinta untuk kembali.

Angin... jika kau setuju ada banyak hal yang tidak bisa diungkapkan. Maka izinkan aku untuk memendamnya sendiri, hingga sampai pada saat dia berada diujung tebing keputusasaannya bisikanlah rahasia dibalik rahasia bahwa ia tidak sendirian. Biarlah ini menjadi caraku mencintainya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Surat Terbuka untuk Seluruh Mahasiswa UPNVJ



Saya memang bukan siapa-siapa, hanya seorang mahasiswi semester 2.
Jika ada yang bilang saya belum cukup pengetahuan itu benar, dan jika ada yang bilang saya belum punya banyak pengalaman dalam berorganisasi pun itu benar. Di sini saya hanya ingin menulis apa yang jadi pendapat saya dan yang saya rasakan---yang juga sering saya dengar dari teman-teman semua terutama bagi angkatan 2015. dan sudah pasti kita semua memiliki pendapat yang berbeda. Saya dengan sangat amat senang apabila menerima kritik dan saran dari siapa pun, saya siap untuk meminta maaf jika apa yang akan saya tulis adalah suatu kesalahan. Saya menulisnya tanpa bermaksud mendahului siapa-siapa, tapi tidak mengurangi niat saya untuk mengatakannya dengan jujur.

Biaya uang semester di Universitas Pembangunan Nasional 'VETERAN' Jakarta yang lebih mahal dari universitas negeri lainnya merupakan topik hangat yang bukan satu atau dua kali saya dengar dari rekan-rekan mahasiswa. Tidak sedikit mahasiswa yang berteriak sembunyi-sembunyi berharap biaya uang semester bisa diturunkan.

Agaknya saya kurang setuju akan hal ini, saya lebih setuju agar biaya kuliah disesuaikan daripada diturunkan. Percuma saja biaya semester turun kalau tidak sesuai. Kita semua tahu bicara soal uang adalah hal yang paling sensitif, begitu pun mengenai uang pangkal mahasiswa jalur mandiri yang terlampau mahal ketimbang mahasiswa yang masuk melalui jalur SBMPTN yang tanpa uang pangkal.

Jika memang benar adanya sistem subsidi silang, saya rasa uang semester peserta SBMPTN sudah mencukupi untuk membayar biaya kuliahnya sendiri selama satu semester tanpa perlu subsidi dari mereka peserta jalur mandiri. Toh, biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp 6.400.000 per satu semester tanpa memerhatikan berapa pun jumlah sks yang diambil dan ini hanya berlaku bagi angkatan tahun 2015. Lagi-lagi saya merasa tidak adil, beruntung sekali mahasiswa yang masuk lebih dulu sebelum tahun 2015. Selain ujian masuk yang lebih mudah, biaya kuliah yang dikeluarkan juga lebih murah. Bukankah nantinya kita sama-sama akan lulus dari universitas negeri yang sama? Lantas, kenapa ada perbedaan? Saya rasa fasilitas yang diperoleh dari kampus pun sama, tidak ada beda, kurang ataupun lebih.

Jujur, saya kesal saat tahu bahwa pengajuan untuk pengurangan dana ukt belum sesuai, belum jatuh kepada yang betul-betul tepat membutuhkan. Pengajuan pengurangan dana ini di fasilitasi kampus bagi mereka yang merasa butuh pengurangan biaya semester dan memenuhi syarat beserta prosedur yang berlaku. Semua orang sudah pasti membutuhkan uang, tapi yang saya maksud adalah mereka yang harus bersusah payah mengejar gelar sarjana dengan segala keterbatasan finansial. Dilain pihak yang 'diberi kesempatan' justru menggunakan uang tersebut untuk hal-hal diluar kebutuhan kuliah, mereka dengan bangga menerima pengurangan biaya yang bukan haknya. Membatasi hak termasuk kesuksesan seseorang meraih gelar sarjana adalah suatu kesalahan, betapa tega sekali bisa berkuliah dengan tenang memakai uang hak mereka yang justru tersendat-sendat demi bertahan di tengah biaya kuliah yang tidak murah.

Saya rasa universitas bukanlah wadah untuk mencetak calon para koruptor handal, Saya tidak menyudutkan siapapun. Kurangnya pengawasan yang ketat dalam proses yang membuat hal semacam ini bisa terjadi. Terlalu banyak rumor mengenai uang kuliah di UPNVJ, maka adanya transparansi dana oleh pihak pengelola sangat diharapkan.

Mengingat tidak sedikit calon mahasiswa yang mengundurkan diri karena kekurangan finansial, hal ini tentu sangat disayangkan. Coba bayangkan ada berapa banyak mahasiswa yang bisa terselamatkan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan tinggi jika dana beasiswa benar-benar tersalurkan dengan baik? Miris sekali, kesempatan mereka untuk berprestasi dan berkembang justru terhambat tanpa ada yang mewadahi.

Satu hal lagi, alasan saya tidak setuju adanya penurunan, melainkan lebih ditekan pada penyesuaian adalah karena saya yakin ada banyak yang tidak keberatan dengan biaya semester di UPNVJ saat ini, meski jauh lebih banyak yang menganggap biaya semester terlalu mahal. Misal penurunan biaya dipukul rata Rp 1.000.000, maka tidak akan jadi masalah bagi mereka yang bekecukupan tapi mungkin saja masih ada yang merasa terbebankan. Akan lebih adil jika dilakukan penggolongan biaya semester sesuai dengan penghasilan orang tua. Untuk apa pula ada pengurangan dana bagi yang mampu membayar uang kuliah yang mahal sekalipun? Untuk apa diperjuangkan sedang mereka justru menghambur-hamburkan uang tersebut?

Impian adanya penyesuaian biaya semester akan selamanya jadi angan-angan tanpa kita semua bersama-sama mencari solusi atas hal tersebut. Percuma jika hanya ada segelintir orang yang berjuang untuk kepentingan bersama dan itu tidaklah adil. Terlepas dari apapun kepentingan para petinggi, jika kita semua bersatu bersama-sama menyuarakannya dengan bijak, saya yakin itu akan lebih didengar ketimbang hanya suara segelintir orang.

Mungkin banyak dari mahasiswa yang tidak peduli akan hal ini dan hanya mempedulikan nilai-nilai semester agar bisa cepat lulus. Itu tidak jadi masalah, setiap orang berhak memilih. Siapa pula yang tidak bangga menjadi cumlaude? Tapi menurut saya, menyuarakan apa yang sudah seharusnya menjadi hak bukanlah suatu yang salah.

Saya tidak akan menyimpulkan apapun, biar siapapun yang membaca berhak menyimpulkan sendiri ke mana arah tulisan ini. Saya berharap apapun yang teman-teman semua rasakan khususnya angkatan tahun 2015 tidak terulang lagi untuk calon mahasiswa tahun 2016 ini.

Sekiranya masih ada banyak hal yang belum bisa saya sampaikan, dukungan dan doa dari teman-teman semua agar masalah ini bisa teratasi dengan sebaik-baiknya sangatlah berarti. semoga ada satu dua orang yang tergelitik hatinya untuk mau ikut menyuarakan pendapat atau sekedar berbagi cerita tanpa terkotak-kotak maupun mengingat batasan-batasan untuk datang langsung dan pintu BEM-U UPNVJ akan selalu terbuka untuk kalian semua.

Dengan setulus hati saya ucapkan terima kasih bagi semua pihak yang turut membantu demi meninggalkan 'jejak' bermanfaat bagi kampus perjuangan UPNVJ.

Jika nelayan diberi arah petunjuk oleh bintang-bintang di langit, semoga kita semua segera menemukan bintang tersebut.

#salammahasiswa #hidupmahasiswa #bemupnvj #deprpendidikanbemupnvj

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Video Lirik Nikka Costa-First Love








Jadi ceritanya gue lagi belajar bikin video yang paling dasaaaar banget, dan ternyata susahnya—yaampun gak nahan....
Salut deh sama mereka yang jago banget bikin video yang keren, kreatif, unik dan lucu. Karena bikinya susah dan ribet, jadi sepertinya sangat amat wajar jika ‘si pembuat’ marah kalo videonya dibajak, apalagi diakuin oranglain. So, guys plis banget kita harus hargain karya oranglain ya, apapun itu dan gimanapun bentuknya. Gue bikin video beginian aja bisa berjam-jam, kalo begini kayaknya lebih baik gue ngerjain soal akuntansi berlembar-lembar deh.
Pas awal ada niat buat nyoba bikin video, tiba-tiba kepikiran sama lagunya Nikka Costa-First Love. Terus akhirnya gue bikin video lirik ini, lumayanlah buat karoekean yaa hehehe
Lagu ini emang udah lama banget, tapi lagunya bagus. Liriknya ituloh, bikin baper hahaha
Setiap orang pasti punya cinta pertama, baik itu bahagia ataupun engga, cinta pertama pasti punya kesan tersendiri. Kesan yang... gak akan pernah sama, gak akan pernah keulang lagi, dengan orang yang sama sekalipun.
Banyak orang yang salah mengartikan cinta pertama, mereka menganggap cinta pertama adalah pacar pertama. Padahal itu salah besar! Cinta pertama adalah saat pertama kali kita bahagia Cuma karena ngeliat dia, walaupun sekedar ketemu, saat pertama kali kita rela melakukan hal bodoh, hal tergila, hal terkonyol, hal terburuk, hal ternekad Cuma demi dia, saat kemanapun dan lagi apapun yang ada Cuma kepikiran dia, saat gak ada lagi hal yang terbahagia selain ngeliat dia senyum manis untuk kita dan masih banyak “hal gila” lainnya yang bisa bikin hal yang gak mungkin jadi mungkin, yang gak bisa jadi nekad bisa, yang tadinya malu jadi mau ngelakuin apa aja. Dahsyat deh efeknya..
Cinta pertama itu bisa kesiapa aja, entah itu; sahabat, temen, pacar, senior, junior, coach, guru atau bahkan suami. Siapapun itu semoga membawa dampak positif buat kita semua yang pernah melewati atau sedang dalam fase cinta pertama.
Cinta pertama itu beda sama orang yang pertama kali kita suka atau kagumi ya guys. Nah video ini gue buat untuk seseorang yang jadi “cinta pertama” gue nan jauh di sana, dan walaupun gak berakhir bahagia, tapi terimakasih sudah pernah hadir. Buat kalian semua yang lagi kangen sama first love nya jangan lupa dengerin lagu ini yaaJ
Videonya emang gak bagus, tapi sekali lagi, coba deh dengerin dan resapi liriknya hehehe

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

All about...

Saya seorang mahasiswi jurusan manajemen semester satu, saya menyukai semua hal yang berhubungan dengan seni. Bagi saya, seni adalah keindahan dan ketenangan, dimana ada banyak hal yang tidak bisa saya curahkan secara langsung, tapi semua emosi bisa keluar dengan mudahnya melalui seni. Seni musik, seni tari, dan seni peran sudah lama menjadi bagian dari hidup saya. Meski tanpa restu orangtua, saya tetap menggelutinya, saya tetap menjalankan 'panggilan' hati saya.

Sejak kelas 5 sd saya juga sudah suka menulis cerita, berbagai hal yang saya lihat dan saya rasakan saya tuangkan dalam bentuk karangan. Ketika tulisan-tulisan saya memenuhi mading, dan bisa dibaca oleh teman-teman adalah suatu kebanggaan tersendiri oleh saya. Bisa sedikit menghibur, dan berbagi cerita sudah lebih dari cukup bagi saya kala itu.

Tak begitu lama, hobi menulis saya ini diketahui oleh mama, dan dengan antusias tinggi mama 'mengenalkan' saya pada dunia jurnalistik yang sangat ia sukai, namun sayangnya mama harus memendam dalam-dalam impiannya tersebut. Benar kata pepatah, "tak kenal maka tak sayang". Karena tidak tahu dan tidak mau tahu seperti apa dunia jurnalistik yang dibanggakan mama, saya tidak pernah tertarik dengan hal itu.

Mama yang notabene pendiam, dan sedikit pemalu sangat menyukai dunia tulis menulis, dan melampiaskan seluruh emosinya lewat tulisan. Berbeda dengan saya, saya lebih suka 'bermain' diatas panggung, dan menulis hanya sebagai 'bumbu' saja bukan hal yang utama.

Menurut saya dunia seni yang saya geluti adalah hobi yang menghasilkan, dan pekerjaan yang paling mengasikan adalah hobi yang dibayar. Saya sangat senang bisa menari, menyanyi, bermain teater dari panggung ke panggung lalu dibayar, selain kepuasan batin saya terpenuhi saya juga bisa menghasilkan uang.

Terlalu asik dengan dunia seni diluar, membuat saya lupa akan tugas saya sebagai seorang pelajar. Sehingga banyak nilai saya yang kurang memuaskan, dan saya tidak punya prestasi apapun dibidang akademik.

Meskipun begitu, saya tetap bertekad untuk kelak bisa masuk universitas negri. Sejak duduk dibangku SMP saya memang sudah suka mencari uang tambahan, karena bagi saya ada kepuasan tersendiri ketika membeli sesuatu yang kita inginkan dengan hasil jerih payah kita sendiri. Namun, karena saya sudah memasuki semester awal kelas 12 dan butuh persiapan lebih untuk UN, dengan berat hati saya berhenti dari semua kegiatan luar yang saya ikuti.

Bulan-bulan pertama semester 5 saya sibuk belajar, ini adalah UN terakhir saya dan saya harus menutupnya dengan hasil yang terbaik, saya akan berusaha semaksimal mungkin. Meski saat itu saya tidak tahu ingin masuk universitas mana, dan bagaimana cara agar bisa masuk universitas negri. Saya terus belajar dan belajar keras saat itu saya merasa ada banyak hal yang harus saya pelajari, saya sudah tertinggal jauh jika dibanding dengan teman-teman saya yang sudah menyiapkan banyak hal untuk persiapan UN ataupun untuk persiapan masuk PTN, dan bahkan mereka sudah mengikuti bimbel.

Fokus untuk persiapan UN saya tidak pernah keluar rumah selain untuk kerja kelompok, saya hanya mengisi waktu luang disaat libur dengan membaca majalah. Saya akui awalnya hanya untuk melihat tentang fashion di majalah sebagai penghibur hati di rumah, tapi lama-kelamaan saya menyukai semua bagian didalam majalah. Saya mendapat banyak pengetahuan baru melalui bacaan tanpa harus keluar rumah. 

Kebiasaan membaca majalah, 'menggelitik' hati saya untuk kembali menulis dan melakukan sesuatu yang bermanfaat. Hingga suatu hari saya iseng melamar menjadi penulis lepas disalah satu perusahaan. Setiap harinya saya dituntut kreatif untuk membuat banyak artikel, melalui pekerjaan ini saya belajar banyak tentang tata cara penulisan yang baik dan benar. Bekerja sebagai penulis lepas tentu tidak menggangu waktu belajar saya, karena pekerjaan ini bisa saya lakukan kapan pun dan dimana pun.

Tanpa saya sadari, pekerjaan ini membantu saya dalam pelajaran. Soal-soal bahasa Indonesia misalnya, saya bisa dengan cepat menjawab pertanyaan hanya dengan menganalisa tulisannya, dan saat saya ada tugas membuat artikel di sekolah saya tidak lagi kesulitan karena sudah terbiasa.

Tiga bulan sebelum UN saya dan teman-teman sepakat untuk mengadakan baksos terakhir disemester 6. Selain semakin sering belajar bersama, kami juga tidak melupakan kewajiban kami sebagai mahluk sosial untuk membantu sesama. Salah satu desa kecil di wilayah Bogor menjadi pilihan kami untuk melakukan bakti sosial.

Berbagai hal untuk kegiatan baksos telah kami lakukan seperti penggalangan dana, pengumpulan barang layak pakai, hingga mendaur ulang barang bekas untuk dijual kembali. Memang tidak mudah untuk melakukan hal itu, tapi ada kepuasan tersendiri ketika kita bisa berbagi, dan melihat orang yang kita bantu tersenyum.

Suatu siang saat saya tengah bosan dengan setumpukan buku pelajaran, saya beralih mengambil laptop untuk sekedar browsing berita yang sedang update. Hingga saya menemukan blog salah satu teman saya muncul diberanda G+, saya klik alamat blog tersebut untuk melihat seperti apa blognya.

Posting terakhir yang teman saya buat adalah tentang kegiatan baksos yang belum lama kami lakukan bersama. Karena penasaran saya terus scroll down hingga posting terakhir, saya takjub karena semua isi blognya tentang kehidupan nyata disekelilingnya, blog yang sangat menginspirasi dan bermanfaat. Berbeda jauh dengan blog saya yang hanya berisi cerita-cerita karangan.

Dengan hati yang dipenuhi berbagai pertanyaan saya segera menghubungi teman saya itu melalui pesan pribadi. Saya ingin tahu, kenapa ia menulis semua kegiatan sosial yang pernah kita lakukan di blog. Apakah untuk pamer agar semua orang tahu? Atau untuk tujuan lain?

Sekali lagi, ternyata jawabannya kembali menggetarkan hati saya. Teman saya yang satu ini memang sangat aktif berorganisasi dan sangat peduli pada lingkungan disekitarnya, kelak ia bercita-cita menjadi seorang reporter. Ia berkata, "Saya hanya ingin mengubah dunia mereka menjadi lebih indah, dan saya yang akan menjadi media mereka untuk mengatakan mereka juga punya hak yang sama. Dilain sisi saya ingin mengkritisi banyak hal yang harusnya banyak orang tahu, bukan untuk ditutupi," 

Membaca jawabannya membuka mata hati saya yang selama ini tertutup akan hal yang benar, saya terlalu sibuk dengan urusan saya sendiri. Saya merasa ada sesuatu yang salah, selama ini saya menulis hanya untuk mendapatkan uang dan sifatnya komersial. Padahal melalui tulisan kita bisa menyampaikan banyak hal,  membagikan informasi yang belum diketahui banyak oramg menjadi informasi yang umum dan melalui tulisan pula lah kita bisa bersuara, menyampaikan yang ingin disampaikam.

Sejak saat itu saya mengerti, betapa mama ingin saya sedikit banyak berkecimpung dalam dunia jurnalistik, dan bagaimana para wartawan berlarian berjuang mencari berita hanya demi membagikannya kepada khalayak umum. Sejak saat itu pula saya mulai tertarik bahkan mencintai dunia jurnalistik meski saya masih harus banyak belajar lagi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mimpi-mimpi Suci



"Aku berjalan di tanah yang subur, di kelilingi banyak pohon yang rindang. bunga-bunga bermekaran cantik. ilalang yang tumbuh di sekitar bukit di penuhi burung-burung kecil yang berterbangangan indah di atasnya. menambah ke elokan negri ini. negriku, surga di bawah langit."

Mimpi-mimpi Suci

"Pergi kau dari sini, suamimu sudah tidak ada. kelak siapa yang akan membayar sewa rumah ini?" bentak wanita muda itu kepada Ibu.
"Saya akan berusaha mencari kerja untuk membayar sewa rumah ini. tapi tolong jangan usir kami nyonya. anakku ini masih kecil dan butuh tempat tinggal," pinta ibu memohon.
"Tidak bisa, wanita tidak berpendidikan sepertimu, memangnya bisa kerja apa? lagipula masih banyak yang mampu menyewa rumahku," bentak wanita itu.

Saat ibuku hanya terdiam tak tau harus berkata apalagi, beliau memelukku erat sambil menahan air mata dari pelupuk matanya. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki yang menengahi, lelaki itu tak lain adalah tuan tanah yang sudah terkenal di desaku dan suami dari wanita muda itu.
"Sudahlah de, biarkan saja mereka tinggal disini. suami Ibu ini, Pak Darwanto adalah kerabat Mas dan ia juga pernah membantu kita," kata laki-laki itu membujuk istrinya.
"Baik dia boleh tinggal di sini, tapi sebagai gantinya kau harus bekerja di rumahku tanpa imbalan apapun," bentak nyonya itu sambil menunjuk ibu.
"Iya Nyonya, akan saya lakukan dengan senang hati. terimakasih Nyonya baik sekali,"

Akhirnya Ibu menuruti keinginan wanita itu karena tidak punya pilihan lain, semenjak Ayah meninggal satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibu tinggalah aku. Ibu tidak punya sanak saudara yang lain. Ia merupakan anak tunggal, sehingga kami tidak punya tempat untuk menumpang atau sekedar singgah barang satu atau dua malam saja.

Dari pagi hingga sore Ibu bekerja di rumah nyonya muda itu dengan bayaran kami di perbolehkan menempati rumah kecilnya yang terletak di pinggir ladang. Sepulang bekerja Ibu harus mengurus membersihkan lahan perkebunan dan kotoran ternak demi sepiring nasi agar dapat menyambung hidup kami.

Semakin hari Ibuku terlihat semakin kurus. walau lelah dia tak akan berhenti bekerja demi menjagaku agar tidak kelaparan. Saat itu usiaku sudah menginjak 7 tahun, usia di mana teman-teman seusiaku sudah mulai mendaftar ke sekolah terdekat di desa. Aku sangat ingin bersekolah tapi aku tau Ibu tidak punya uang untuk itu, dan aku sangat tidak tega jika harus menambah beban untuk Ibu.

Tidak mampu untuk bersekolah tapi tidak mengurungkan niatku untuk belajar. aku bergabung dengan anak-anak kurang mampu lainnya di rumah matahari, di sini tidak di pungut biaya apapun tapi letaknya di desa sebelah sekitar 8km dari rumahku. Setiap pagi aku harus melewati beberapa anak sungai, ladang persawahan dan kebun buah demi sampai ke sekolah.

Aku memotong kemeja putih Ayah yang sudah lusuh, memakai sepatu Ayah yang warna hitamnya sudah mulai pudar sehingga sebelum berangkat aku harus menggoreskan arang di bagian atasnya dan membawa satu kantong plastik berisi buku tulis bekas yang aku pinta dari tetangga yang ingin membuangnya. Aku lakukan itu, karena Ibu tidak punya uang untuk membeli peralatan sekolah.

Seringkali aku di ejek oleh teman-teman di sekitar rumahku karena bajuku yang jelek dan sepatu kebesaran, tidak seperti mereka yang memakai seragam bagus. Tapi aku tidak pernah menangis karena aku tau yang mereka katakan memang benar dan aku tidak ingin membuat Ibuku bersedih.

Setiap kali pulang sekolah aku mencari ikan kecil di sungai untuk di jadikan lauk makan malam, agar ibu tidak perlu ke pasar mencari sisa-sisa sayuran yang tidak laku di jual. Dahulu saat belum ada penebangan hutan---kami tidak sulit mencari buah dan sayuran segar tanpa harus membeli. Selagi bisa aku selalu berusaha meringankan beban Ibu. Aku takut jika nanti Ibu kelelahan dan jatuh sakit. Sebagai anak laki-laki aku ingin kelak menjadi sandaran untuk Ibu, seperti Ayah.

Kadang malam hari aku sering merasa kelaparan, sehingga membuatku pusing dan sulit mengerjakan pr. Aku memaksakan diri untuk memejamkan mata dengan perutku yang lapar, berharap pagi akan datang lebih cepat. Aku memang sengaja tidak memakan makan malam yang sudah Ibu siapkan, aku menyimpannya untuk sarapan Ibu besok pagi, karena Ibu harus bekerja sepanjang hari sedangkan aku hanya belajar dan sudah pasti tidak selelah Ibu. Aku sangat khawatir kalau Ibu bekerja dengan perut lapar. Lagi pula aku mulai terbiasa sarapan hanya dengan memakan buah yang sudah jatuh dari pohon di kebun yang aku lewati saat aku ingin berangkat sekolah.

Sesulit apapun aku akan terus melanjutkan sekolah. Aku tidak ingin melihat anakku nanti merasakan hal yang sama denganku dan aku tidak dapat membahagiakan Ibu hingga ia tua.

Ibu adalah perempuan hebat yang selalu aku banggakan. Seletih apapun ia tidak pernah mangeluh, malah selalu tersenyum menghiburku. Beliau juga tidak pernah lupa mengingatkanku untuk selalu sholat dan mengaji sebagai wujud syukur kepada Allah yang telah menjaga aku dan Ibu. Sehabis sholat aku juga selalu mendoakan Ayah karena hanya itu yang bisa aku berikan untuknya.

Membaca buku adalah hal yang paling aku suka saat ada waktu setelah membersihkan rumah. Selain itu, membaca adalah satu-satunya media hiburan yang masih bisa aku rasakan. Cerita Nabi dan Rosul salah satunya. Hingga aku sangat mengagumi sosok Nabi Muhammad saw.

"Ibu, seperti apa Nabi Muhammad itu?" tanyaku saat Ibu sudah pulang ke rumah.
"Dia adalah manuasia paling sempurna yang Allah ciptakan," jawab Ibuku sambil tersenyum.
"Seperti apa wajahnya, Ibu? Kenapa ia begitu dicintai banyak orang?" tanyaku penuh penasaran.
"Ibu juga tidak tahu. hanya sedikit yang pernah bertemu dengan dia sayang, yang sudah pasti orang-orang pilihan Allah. Nabi Nuhammad sangat mencintai Allah, Al-qur'an dan umatnya. ia sangat baik kepada siapapun,"

Melihatku masih penasaran dengan jawaban Ibu, Ibuku melanjutkan kalimatnya.
"ia pemimpin yang sangat bijaksana, tidak akan tega melihat umatnya kesusahan, selalu mengasihi anak yatim dan tidak pernah membenci orang lain. orang yang jahat sekalipun dan masih banyak lagi hal baik yang selalu di lakukannya,"
"ibu, adakah pemimpin yang seperti dia?"
"banyak pemimpin yang baik, tapi sangat sulit mencari yang seperti nabi muhammad nak. mungkin tidak ada,"
***

aku teringat percakapan ku dengan ibu bertahun-tahun lalu. kalau dulu aku tidak bertekad melanjutkan sekolah, kalau bukan karena mimpi kecil itu. mungkin aku tidak akan mendapatkan beasiswa kuliah di luar negri.

sewaktu di sd dulu, saat ibu guru bertanya apa cita-cita ku. aku dengan lantang akan menjawab, aku ingin jadi presiden. presiden berahlak al-qur'an. walalu aku tidak punya banyak harta tapi aku punya kekayaan ilmu dan hati yang tidak pernah habis seperti harta yang mereka miliki.

bukan hanya sekedar sumpah di atas al-qur'an tapi aku ingin menjalankan tugas seperti yang tercantum di al-qur'an. aku tidak akan hanya sekedar berjanji dan setelah itu lupa dengan tujuan awalku. insyaallah aku akan mengasihi anak yatim sehingga tidak ada anak yatim yang sulit belajar karena kelaparan di malam hari seperti aku dulu, aku tidak ingin hidup penuh kemewahan sementara rakyatku harus mencari kayu bakar untuk memasak seperti ibuku dan aku tidak ingin merusak keindahan alam negri ini hanya untuk kepentingan pribadi. seperti yang sudah dicantumkan dalam al-qur'an.

bagaimana mungkin negri seribu mimpi dan dengan seribu keindahan ini berharap penuh kepada seseorang yang bahkan tidak mencintai bangsa dan tanah airnya? para pemimpin yang hanya menikmati jabatannya, padahal ada banyak orang yang berdoa mendapat kepeduliannya.
negriku butuh seseorang yang mampu, bukan hanya sekedar mau. bantu aku untuk menjadi pantas, tunggu aku menyelesaikan studi ku hingga aku kembali merangkulmu.

*nb: cerpen ini dibuat satu tahun lalu untuk mengikuti sebuah lomba, namun karena kelalaian saya, cerpen ini tidak diterima karena kadaluarsa. maka hari ini aku ingin membagikannya pada kalian :) selamat membaca^_^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS