RSS

Mimpi-mimpi Suci



"Aku berjalan di tanah yang subur, di kelilingi banyak pohon yang rindang. bunga-bunga bermekaran cantik. ilalang yang tumbuh di sekitar bukit di penuhi burung-burung kecil yang berterbangangan indah di atasnya. menambah ke elokan negri ini. negriku, surga di bawah langit."

Mimpi-mimpi Suci

"Pergi kau dari sini, suamimu sudah tidak ada. kelak siapa yang akan membayar sewa rumah ini?" bentak wanita muda itu kepada Ibu.
"Saya akan berusaha mencari kerja untuk membayar sewa rumah ini. tapi tolong jangan usir kami nyonya. anakku ini masih kecil dan butuh tempat tinggal," pinta ibu memohon.
"Tidak bisa, wanita tidak berpendidikan sepertimu, memangnya bisa kerja apa? lagipula masih banyak yang mampu menyewa rumahku," bentak wanita itu.

Saat ibuku hanya terdiam tak tau harus berkata apalagi, beliau memelukku erat sambil menahan air mata dari pelupuk matanya. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki yang menengahi, lelaki itu tak lain adalah tuan tanah yang sudah terkenal di desaku dan suami dari wanita muda itu.
"Sudahlah de, biarkan saja mereka tinggal disini. suami Ibu ini, Pak Darwanto adalah kerabat Mas dan ia juga pernah membantu kita," kata laki-laki itu membujuk istrinya.
"Baik dia boleh tinggal di sini, tapi sebagai gantinya kau harus bekerja di rumahku tanpa imbalan apapun," bentak nyonya itu sambil menunjuk ibu.
"Iya Nyonya, akan saya lakukan dengan senang hati. terimakasih Nyonya baik sekali,"

Akhirnya Ibu menuruti keinginan wanita itu karena tidak punya pilihan lain, semenjak Ayah meninggal satu-satunya keluarga yang dimiliki Ibu tinggalah aku. Ibu tidak punya sanak saudara yang lain. Ia merupakan anak tunggal, sehingga kami tidak punya tempat untuk menumpang atau sekedar singgah barang satu atau dua malam saja.

Dari pagi hingga sore Ibu bekerja di rumah nyonya muda itu dengan bayaran kami di perbolehkan menempati rumah kecilnya yang terletak di pinggir ladang. Sepulang bekerja Ibu harus mengurus membersihkan lahan perkebunan dan kotoran ternak demi sepiring nasi agar dapat menyambung hidup kami.

Semakin hari Ibuku terlihat semakin kurus. walau lelah dia tak akan berhenti bekerja demi menjagaku agar tidak kelaparan. Saat itu usiaku sudah menginjak 7 tahun, usia di mana teman-teman seusiaku sudah mulai mendaftar ke sekolah terdekat di desa. Aku sangat ingin bersekolah tapi aku tau Ibu tidak punya uang untuk itu, dan aku sangat tidak tega jika harus menambah beban untuk Ibu.

Tidak mampu untuk bersekolah tapi tidak mengurungkan niatku untuk belajar. aku bergabung dengan anak-anak kurang mampu lainnya di rumah matahari, di sini tidak di pungut biaya apapun tapi letaknya di desa sebelah sekitar 8km dari rumahku. Setiap pagi aku harus melewati beberapa anak sungai, ladang persawahan dan kebun buah demi sampai ke sekolah.

Aku memotong kemeja putih Ayah yang sudah lusuh, memakai sepatu Ayah yang warna hitamnya sudah mulai pudar sehingga sebelum berangkat aku harus menggoreskan arang di bagian atasnya dan membawa satu kantong plastik berisi buku tulis bekas yang aku pinta dari tetangga yang ingin membuangnya. Aku lakukan itu, karena Ibu tidak punya uang untuk membeli peralatan sekolah.

Seringkali aku di ejek oleh teman-teman di sekitar rumahku karena bajuku yang jelek dan sepatu kebesaran, tidak seperti mereka yang memakai seragam bagus. Tapi aku tidak pernah menangis karena aku tau yang mereka katakan memang benar dan aku tidak ingin membuat Ibuku bersedih.

Setiap kali pulang sekolah aku mencari ikan kecil di sungai untuk di jadikan lauk makan malam, agar ibu tidak perlu ke pasar mencari sisa-sisa sayuran yang tidak laku di jual. Dahulu saat belum ada penebangan hutan---kami tidak sulit mencari buah dan sayuran segar tanpa harus membeli. Selagi bisa aku selalu berusaha meringankan beban Ibu. Aku takut jika nanti Ibu kelelahan dan jatuh sakit. Sebagai anak laki-laki aku ingin kelak menjadi sandaran untuk Ibu, seperti Ayah.

Kadang malam hari aku sering merasa kelaparan, sehingga membuatku pusing dan sulit mengerjakan pr. Aku memaksakan diri untuk memejamkan mata dengan perutku yang lapar, berharap pagi akan datang lebih cepat. Aku memang sengaja tidak memakan makan malam yang sudah Ibu siapkan, aku menyimpannya untuk sarapan Ibu besok pagi, karena Ibu harus bekerja sepanjang hari sedangkan aku hanya belajar dan sudah pasti tidak selelah Ibu. Aku sangat khawatir kalau Ibu bekerja dengan perut lapar. Lagi pula aku mulai terbiasa sarapan hanya dengan memakan buah yang sudah jatuh dari pohon di kebun yang aku lewati saat aku ingin berangkat sekolah.

Sesulit apapun aku akan terus melanjutkan sekolah. Aku tidak ingin melihat anakku nanti merasakan hal yang sama denganku dan aku tidak dapat membahagiakan Ibu hingga ia tua.

Ibu adalah perempuan hebat yang selalu aku banggakan. Seletih apapun ia tidak pernah mangeluh, malah selalu tersenyum menghiburku. Beliau juga tidak pernah lupa mengingatkanku untuk selalu sholat dan mengaji sebagai wujud syukur kepada Allah yang telah menjaga aku dan Ibu. Sehabis sholat aku juga selalu mendoakan Ayah karena hanya itu yang bisa aku berikan untuknya.

Membaca buku adalah hal yang paling aku suka saat ada waktu setelah membersihkan rumah. Selain itu, membaca adalah satu-satunya media hiburan yang masih bisa aku rasakan. Cerita Nabi dan Rosul salah satunya. Hingga aku sangat mengagumi sosok Nabi Muhammad saw.

"Ibu, seperti apa Nabi Muhammad itu?" tanyaku saat Ibu sudah pulang ke rumah.
"Dia adalah manuasia paling sempurna yang Allah ciptakan," jawab Ibuku sambil tersenyum.
"Seperti apa wajahnya, Ibu? Kenapa ia begitu dicintai banyak orang?" tanyaku penuh penasaran.
"Ibu juga tidak tahu. hanya sedikit yang pernah bertemu dengan dia sayang, yang sudah pasti orang-orang pilihan Allah. Nabi Nuhammad sangat mencintai Allah, Al-qur'an dan umatnya. ia sangat baik kepada siapapun,"

Melihatku masih penasaran dengan jawaban Ibu, Ibuku melanjutkan kalimatnya.
"ia pemimpin yang sangat bijaksana, tidak akan tega melihat umatnya kesusahan, selalu mengasihi anak yatim dan tidak pernah membenci orang lain. orang yang jahat sekalipun dan masih banyak lagi hal baik yang selalu di lakukannya,"
"ibu, adakah pemimpin yang seperti dia?"
"banyak pemimpin yang baik, tapi sangat sulit mencari yang seperti nabi muhammad nak. mungkin tidak ada,"
***

aku teringat percakapan ku dengan ibu bertahun-tahun lalu. kalau dulu aku tidak bertekad melanjutkan sekolah, kalau bukan karena mimpi kecil itu. mungkin aku tidak akan mendapatkan beasiswa kuliah di luar negri.

sewaktu di sd dulu, saat ibu guru bertanya apa cita-cita ku. aku dengan lantang akan menjawab, aku ingin jadi presiden. presiden berahlak al-qur'an. walalu aku tidak punya banyak harta tapi aku punya kekayaan ilmu dan hati yang tidak pernah habis seperti harta yang mereka miliki.

bukan hanya sekedar sumpah di atas al-qur'an tapi aku ingin menjalankan tugas seperti yang tercantum di al-qur'an. aku tidak akan hanya sekedar berjanji dan setelah itu lupa dengan tujuan awalku. insyaallah aku akan mengasihi anak yatim sehingga tidak ada anak yatim yang sulit belajar karena kelaparan di malam hari seperti aku dulu, aku tidak ingin hidup penuh kemewahan sementara rakyatku harus mencari kayu bakar untuk memasak seperti ibuku dan aku tidak ingin merusak keindahan alam negri ini hanya untuk kepentingan pribadi. seperti yang sudah dicantumkan dalam al-qur'an.

bagaimana mungkin negri seribu mimpi dan dengan seribu keindahan ini berharap penuh kepada seseorang yang bahkan tidak mencintai bangsa dan tanah airnya? para pemimpin yang hanya menikmati jabatannya, padahal ada banyak orang yang berdoa mendapat kepeduliannya.
negriku butuh seseorang yang mampu, bukan hanya sekedar mau. bantu aku untuk menjadi pantas, tunggu aku menyelesaikan studi ku hingga aku kembali merangkulmu.

*nb: cerpen ini dibuat satu tahun lalu untuk mengikuti sebuah lomba, namun karena kelalaian saya, cerpen ini tidak diterima karena kadaluarsa. maka hari ini aku ingin membagikannya pada kalian :) selamat membaca^_^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: